Artikel ini diambil dari Website resmi DISCUS :
DISCUS IS:
FADHIL INDRA: Lead Vocals, Keyboards, Electronic Percussion, Rindik, Ethnic Percussion
IWAN HASAN: Lead Vocals, Guitar, 21-string HarpGuitar, Keyboards
ANTO PRABOE: Clarinet, Flute, Saxophones, Pui-pui, Suling, Growls
KIKI CALOH: Bass, Lead Vocals
EKO PARTITUR: Violin, Vocals
HAYUNAJI: Drums
YUYUN: Lead Vocals, Ethnic Vocals, Percussion (2004-2007)
KRISNA PRAMESWARA: Keyboards
ALUMNI:
NONNIE (1996-2004): Lead Vocals
Tentang DISCUS:
Terbentuk berawal dari pertermuan Iwan Hasan dan Anto Praboe ketika Iwan menjadi conductor sebuah orchestra yang dibentuk secara khusus untuk membawakan komposisi Franki Raden “Simfoni Merah Putih” dalam ulang tahun kelima SCTV pada 1995. Anto adalah principal clarinettist dalam orchestra tersebut. Iwan tertarik pada permainan Anto dan mengajaknya membentuk sebuah band bersama teman lamanya Fadhil Indra, yang telah bermain band bersama Iwan selama 25 tahun sejak keduanya duduk di bangku sekolah dasar. Pada 1996 ketiganya membentuk sebuah band yang kemudian akan bernama DISCUS.
Tekad sejak awal adalah menciptakan musik yang tidak mengenal batas, melintasi sebanyak mungkin batas pengkotakan genre musik dan menciptakan sebuah style yang original dengan influences yang luas dan berbeda-beda. Tanpa bermaksud menjadi band berlabel “Progressive Rock” maupun “Jazz Fusion”, ternyata album pertama Discus dirilis oleh sebuah perusahaan rekaman Progressive di Italia, sekaligus sebuah label Jazz di Indonesia. (Perlu diingat bahwa para pelopor musik progressive rock seperti Yes atau King Crimson tidak memberi nama “progressive”. Mereka semata bereksperimen dan media lah yang memberi nama tersebut sebagai sebuah genre yang pada saat itu sesuatu yang baru).
Dengan diterimanya musik Discus untuk dirilis oleh sebuah label progressive Italia (dan suksesnya Discus diundang dan tampil di berbagai festival musik progressive mancanegara), maka menjadi sah apabila Discus disebut sebagai group musik Progressive, karena karakter musiknya yang memang “progressive”. Namun dirilisnya album yang sama oleh sebuah label jazz di tanah air (dimana belakangan, enam tahun setelah rilisnya album tersebut disebut sebagai sebuah album JAZZ yang penting oleh Denny Sakrie di majalah Rolling Stone), menunjukkan bahwa Discus tidaklah terikat pada pembatasan apapun dalam mengolah musiknya sehingga menjadi sesuatu yang original sehingga sulit dikotakkan. Namun dilain sisi, bukankah hal itu… “progressive”?
Yang khusus dari DISCUS adalah resistensinya untuk sejauh mungkin menjaga intensitas perpaduan pola-pola komposisi yang unik dan inovatif, ketimbang duplikatif. Sebuah penjelajahan ke dalam “percampuran” berbagai elemen seperti jazz, rock, klasik, pop, kontemporer/eksperimental mau pun tradisional ke dalam musiknya. Bila ingin diberi identitas, aliran ini boleh saja disebut progressive dengan ciri yang spesifik atau original. Yang pada akhirnya –DISCUS sebagai grup asal Indonesia, meraih sukses secara internasional dengan diterimanya Discus oleh komunitas musik Progressive dunia, baik secara audio recording (album) mau pun penampilan-penampilan panggungnya yang sanggup menghipnotis para fans progressive dunia.
Sebuah konsep yang menarik untuk ditulis, namun pada awalnya membuat kesulitan yang luar biasa. Konsep seperti ini mengandung nilai komersial yang amat kecil pada era pertengahan 90an. Banyak musisi handal yang ingin memainkan musik yang sederhana mudah dipelajari dan cepat menghasilkan dana, sementara musik Discus kerap rumit, sulit dipelajari dan sulit menghasilkan dana! Akibatnya formasi Discus (ketika itu belum bernama Discus) dapat berubah setiap bulan, karena tidak dapat menghasilkan dana.
Baru setelah hampir setahun, terbentuklah formasi tetap dengan 8 anggota yang akhirnya merilis album Discus pertama (dan kedua). Nama Discus diberikan oleh Anto sehari sebelum tampil di Jamz, Jakarta Selatan. Ketika itu kedelapan anggota Discus mencari sebuah nama yang mencerminkan keanekaan warna musik Discus dan kehati-hatian dalam proses penggarapan musiknya. Discus adalah jenis ikan hiar yang memiliki aneka warna yang indah serta membutuhkan kehati-hatian dalam perawatannya. Seketika, ide tersebut diterima oleh seluruh group.
1996: Discus berdiri
1999: Album perdana Discus berjudul “1st” dirilis oleh Mellow Records Italy dengan distribusi internasional. Di Indonesia dirilis oleh Mozaik Communications Music dan Chico & Ira Productions dengan distributor PT. Aquarius Musikindo.
1999: Album Discus 1st beredar ke daratan Eropa dan Amerika dan mendapatkan respons yang sangat positif di segmen pasar progressive rock.
1999: Album Discus 1st mendapat review yang sangat positif di berbagai majalah musik progressive di Italia, Amerika, Jerman, Brazil dan Belgia.
1999: Majalah musik progressive Belgia, Prog Resiste menempatkan Discus 1st sebagai album progressive kelima terbaik sedunia tahun 1999.
2000: Editor majalah progressive USA, Expose, menganggap Discus 1st salah satu album progressive terbaik sedunia tahun 1999.
Oktober 2000:
Discus tampil di ProgDay 2000 atas undangan Peter Renfro; promotor event progressive, sebuah festival musik progressive rock internasional di North Carolina, USA. Pada kesempatan tersebut, Discus juga tampil di Menlo Park, California, dalam konser tungggal Discus yang diselenggarakan majalah Expose serta tampil di Knitting Factory, New York City, USA
November 2000:
Discus mendapat sukses besar dalam Progday 2000 Internet Poll, sebuah poll internet di newsgroup rec.music.progressive di USA mengenai penampilan terbaik di ProgDay 2000. Berdasarkan survey tersebut Discus mendapatkan voting sebagai band kedua terbaik (terbaik jatuh ke Hoyry Kone dari Finlandia). Eko Partitur mendapat best player untuk kategori pemain “miscellaneous instruments” (instrument diluar gitar, bas keyboard dan drum) dan Iwan Hasan mendapat gitaris kedua terbaik.
Februari 2001 :
Discus kembali diundang oleh promotor event progressive terbesar di dunia saat itu; BAJAPROG 2001. Discus berkolaborasi dengan Maestro Gamelan Bali, I G Kompiang Raka. Tampil bersama dengan belasan grup progressive bertaraf internasional dari berbagai negara Eropa & Amerika. Sekali lagi, dari Asia hanyalah Discus dari Indonesia yang diundang -setelah di PROGDAY 2000 pun hanya satu-satunya grup asal Asia yang diundang. Ketika Discus tampil dan layer panggung dibuka, hysteria penonton membuat gedung hampir terasa bergoyang sebelum satu notpun dimainkan. Histeria dan standing ovations mewarnai closing lagu terakhir yang dibawakan saat itu (Anne), lagu yang mengawali awal persiapan proses pembuatan album kedua, Discus…tot licht!. Selesai konser, personil Discus tidak dapat menghindari serbuan fans yang merangsek meminta tandatangan serta serbuan reporter TV dan radio. Hal yang belum pernah terjadi di tanah air.
November 2001 – Januari 2002:
Melakukan proses rekaman album kedua setelah mengkonsepkan musik dan lirik yang menjanjikan konsistensi di jalur musik progressive. Dilanjutkan dengan melakukan beberapa negosiasi penjualan oleh beberapa label internasional, di mana Intrepid Music bertindak sebagai label yang menangani produksi album kedua ini dengan judul DISCUS…tot licht!
2003 :
Bulan Juni GOHAN Records dari Jepang sangat responsif dalam melakukan deal dengan DISCUS untuk melakukan penjualan DISCUS…tot licht! di kawasan Jepang. Di bulan Oktober 2003 PRS Records dan Indonesian Progressive Society melakukan peluncuran DISCUS…tot licht! untuk penjualan di wilayah Indonesia. Sementara untuk distribusi penjualan seluruh dunia (kecuali Jepang dan Indonesia) dipercayakan kepada label progressive terbesar dunia MUSEA Records dari Perancis pada Desember 2003.
Edisi perdana majalah MTV Trax versi Indonesia menyebut Discus sebagai salah satu dari 25 musisi paling berpengaruh di Indonesia, sejajar dengan tokoh-tokoh seperi Titiek Puspa, Koes Plus, Dewa dan Indra Lesmana.
2004 :
Discus dianugerahi AMI Samsung Award 2004, lewat lagu masterpiece-nya Anne pada album Discus…tot licht! dan menjadi the best progressive rock band 2004.
2005:
Discus melakukan tour Eropa dan tampil sebagai headliner di ProgSol 2005, festival progressive di Switzerland. Sekali lagi, Discus terkejut di panggung ketika penonton kompak menyanyikan intro lagu System Manipulation sebagaimana halnya penonton konser pop atau rock kompak menyanyikan lagi hit.
Setelah itu Discus melakukan konser di Jerman. Di Jerman, Discus dismbut secara resmi oleh walikota Wurzburg, Marion Schaffer dalam sebuah upacara khusus menyambut Discus di Wurzburg Town Hall.
Website musik Jerman www.ragazzi-music.de yang memiliki hit rate sekitar 70,000 per bulan menulis bahwa Discus adalah contoh bagi dunia dimana pemeluk agama yang berbeda-beda dapat bersatu dalam damai bahkan menghasilkan karya musik luar biasa. Ditengah-tengah image buruk Indonesia di dunia internasional, hal ini menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi insan Indonesia, yang tidak disadari oleh media maupun publik di tanah air.
Majalah Rolling Stone versi Indonesia menyebut album pertama Discus, “1st”, sebagai salah satu dari album jazz terpenting dalam sejarah jazz Indonesia.
People
Tentang Personil :
Kekuatan para pemain DISCUS menjadi nilai tambah bagi pembentukan karakter musik dalam setiap albumnya yang penuh warna, inovatif dan terkonsep dengan matang, karena datang dari berbagai unsur dan latar belakang bermusik, :
· Iwan Hasan :
Mengenyam pendidikan musik di Willamette University, Salem, Oregon, USA (1988-1991) dan pernah mendapat penghargaan Outstanding Music Student Award sebagai
mahasiswa musik terbaik di angkatannya. Pada tahun 1991, Iwan adalah Semi Finalis dari Portland Classical Guitar Competition, yaitu 10 besar dari 70an lebih competitor dari USA dan Canada. Selain itu, komposisi klasik kontemporer karya Iwan berjudul “Images” dipagelarkan dengan sangat sukses di Oregon pada tahun 1991.
John Doan, seorang profesor musik memperkenalkan Harp guitar, yang dikenal dengan nama 21-string harpguitar yang dimainkan Iwan Hasan pada kedua Album Discus yang telah beredar. Belajar komposisi klasik kontemporer dan jazz improvisation serta vokal seriosa selama belajar di Oregon. Saat ini Iwan adalah satu dari sekitar 20 an pemain harp guitar professional di dunia, dimana hanya 2 orang berasal dari Asia (Iwan dan seorang lagi dari Jepang)
Sementara di Tanah Air, ia pernah berkolaborasi dengan musisi dan seniman Indonesia seperti Franki Raden, Tri Suci Kamal, dan I Wayan Sadra. Menjadi konduktor Ensembel Musik Kontemporer untuk pagelaran ulang tahun SCTV yang kelima, 1995. Sebagai komponis konemporer, Iwan tampil di Pekan Komponis IX yang diselenggarakn Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998.
Tahun 2004 sebuah komposisi solo harp guitar Iwan BERJUDUL “Heavely Earth Dance” dirilis di USA dalam sebuah album kompilasi harp guitar di USA. CD tersebut (berjudul Beyond Six Strings) berisi 13 orang harp guitarist (masing-masing satu track), dimana Iwan adalah satu-satunya dari Asia.
Sebagai arranger orchestra, Iwan telah membuat orchestra arrangement untuk album berbagai band, antara lain Boomerang, Ungu, The Rain dan Getah. Iwan lah yang membuat aransmen orchestra (dan bermain piano) pada lagu Demi Waktu dari Ungu, yang menjadi hit terbesar di tanah air pada 2006 serta SurgaMu yang juga menjadi hit Ramadhan Ungu.
Iwan adalah composer utama dan music director dalam musik Discus, yang cenderung mempergunakan metode komposisi klasik dalam karyanya, yaitu menulis not untuk dimainkan setiap instrumen (kecuali pada bagian improvisasi). Influence utamanya dalam komposisi adalah klasik kontemporer dan jazz dengan dibumbui metal dan etnik. Namun Iwan juga penggemar musik pop.
· Fadhil Indra :
Belajar Musik di Institut Kesenian Jakarta, Royal Albert Hall-London dan Fakultas Sastra Indonesia Universitas Nasional, yang menjadi modal akademis dalam mengolah dan mengkontribusikan gaya musik DISCUS, dalam kaitannya dengan unsur lirik dan tema sastra dan sejarah yang sangat kental, khususnya pada album DISCUS…tot licht! Beberapa kali membuat ilustrasi musik sinetron untuk program cerita daerah/sejarah untuk stasiun televisi Palembang dan bergabung dengan kelompok Sea Serpent, Ground Zero dan Makara.
Fadhil adalah penulis lirik yang dominan dalam musik Discus, juga composer yang berperan. Permainan piano, keyboard serta perkusinya menjadai salah satu warna khas Discus. Secara umum Fadhil membawa elemen Symphonic dan Neo Progressive dalam musik Discus, namun kontribusinya juga terkadang berwarna avant garde terutama dalam improvisasi keyboardnya pada bagian-bagian berbau prog-metal. Fadhil juga kerap membawa elemen tradisi etnik Indonesia dalam musiknya.
· Anto Praboe :
Sarjana musik lulusan ISI Yogyakarta. Pernah aktif bermain di berbagai orkestra klasik dan pop serta big band jazz antara lain Twilite Orchestra, Nusantara Chamber Orchestra, Jamz Matra Big Band, Orkes Simfoni Jakarta serta Erwin Gutawa Orchestra. Dalam orkestra-orkestra klasik, ia beberapa kali tampil sebagai soloist dalam sejumlah concerto dan selalu menjadi principal clarinetist (klarinet utama).
Anto adalah salah satu clarinetist klasik dan jazz terbaik di tanah air yang kemampuan teknisnya diakui oleh hamper semua pemain clarinet. Ia juga seorang pengajar dengan banyak murid. Seorang improviser handal dengan ciri permainan yang berteknik tinggi, permainan Anto tidak dapat dipisahkan dari warna musik Discus.
Ia juga telah memberikan kontribusi komposisi yang cenderung avant garde dan juga membawa warna klasik dan jazz dalam musik Discus. Namun ironisnya, Anto juga sekaligus Growler Metal dalam Discus!
· Eko Partitur :
Terkenal sebagai pemain biola rock, eksperimental, country dan “musik jalanan”. Pernah bermain untuk Sirkus Barrock, Brawijaya Band, Gita Kencana Orkestra, Chechereme Country Group dan Prambors Rock Band. Hingga kini jadi langganan tetap pendukung Teater Koma, Bengkel Teater dan Kelompok Musik Jalanan (KPJ)
Seorang violinist yang memiliki karakter, Eko kerap memukau penonton internasional dengan permainan biolanya. Di komunitas rec.music.progresseive, ia disebut sebagai “The Shredding Violinist With The Shredded Jeans” atas penampilannya di ProgDay dan Baja Prog. Hal itu tidak terlepas dari komposisinya untuk solo biola dengan efek elektronik, “Violin Metaphysics”.
· Kiki Caloh :
Mantan Pemain Bass Brawijaya Band ini selain merupakan seorang in-house lawyer lulusan Fakultas Hukum UI, juga aktif dalam kepengurusan di organisasi Indonesia Progressive Society yang telah menelurkan beberapa band progressive di Indonesia hingga saat ini. Pada Discus…tot licht! Kiki Caloh juga berperan sebagai executive producer dan menyumbangkan sejumlah kreativitas musiknya dalam proses pembuatan album Discus….tot licht! Kiki juga merupakan executive producer untuk album Nirmana dari Cozy Street Corner dan menjadi music producer dari Nerv (grup pop rock progressive dari kota Bandung yang dimotori oleh seorang pemain violin wanita).
Ia juga berperan dalam menghidupkan komunitas musik progressive di tanah air melalui keterlibatannya didalam Indonesia Progressive Society (IPS).
Salah satu diantara sedikit bassist rock di tanah air saat ini yang memiliki ciri khas dengan permainan bass yang terkonsep, Kiki juga seorang penulis lirik yang handal, seorang konseptor dengan pilihan tema dan visi yang sangat unik dan imajinatif, sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya dalam album Discus. Lirik karya Kiki memiliki ciri yang berbeda dengan Fadhil, yang memperkaya variasi dalam album-album Discus. Sebagaimana halnya para bassist progressive rock dunia seperti Chris Squire, Geddy Lee dan Tony Levin, permainan bass Kiki menjadi ciri yang tak tergantikan. Konsep penggunaan sound effects secara maksimal adalah salah satu ciri Kiki, dimana ia dapat mengganti sound bass nya untuk bagian yang berbeda dalam sebuah lagu.
· Hayunaji :
Mantan drummer Brawijaya Band, Chandika Band dan grup Rock Pause. Ia juga sering dimintakan jasanya sebagai session drummer dalam berbagai proyek antara lain Krisdayanti/Anang, Potret/Melly Goeslaw, Soundtrack Ada Apa dengan Cinta? Los Morenos dan Mutiara Biru (Hawaiian Singers). Hayunaji adalah drummer pilihan Melly Goeslaw yang sampai saat ini selalu bermain drum di album-album maupun live show Melly.
Hayunaji adalah satu dari sedikit drummer yang memiliki teknik yang dapat beradaptasi seketika dalam musik jazz, pop, dance, latin dan metal maupun progressive. Dalam musik Discus, ia sanggup mempertahankan groove dan menjaga “feel” dalam musik Discus yang kerap rumit dengan tanda birama berubah-ubah. Kemampuannya bermain dalam berbagai warna juga sangat membantu dalam komposisi musik Discus yang dapat berubah seketika dari mainstream jazz ke metal dan sebaliknya. Bisa dikatakan permainan drumnya menjadi katalisator dalam musik Discus.
· Krisna Prameswara :
Mantan Keyboardist Brawijaya Band, The Colours dan Wong Pitoe, Krisna adalah juga keyboardist Nera dan additional keyboardist Naif. Juga sering menjadi session player, arranger dan MIDI Programmer dalam berbagai proyek, termasuk jingle dan scoring music serta pernah bermain dengan Gang Pegangsaan pada tahun 1990.
Ciri permainan Krisna yang mengandalkan teknologi synthesizer modern menjadi elemen kontras terhadap permainan keyboard Fadhil (atau Iwan) yang cenderung piano atau vintage keyboard oriented dengan cara bermain “old style”. Dimana keahlian MIDI dan sampling modern dibutuhkan, Krisna is “the man”.
· Yuyun :
Vocalist Wanita yang juga seorang penari dan koreografer muda jebolan Institut Kesenian Jakarta ini memiliki kemampuan etnik vocal yang sanggup menghipnotis penonton Discus di Eropa (atau dimanapun). Penampilannya selalu penuh dengan kreativitas gerak tari dan improvisasi vokal yang membuat musik Discus semakin kaya warna.
Diluar Discus, sebagai penari ia telah tampil di dunia internasional, seperti di Switzerland dan Singapura. Sebagai vokalis, suaranya telah beredar di beberapa CD di Jepang sebagai vokalis tamu di album-album artis Jepang.
Yuyun dipilih bergabung dengan Discus karena kemampuannya berimprovisasi vokal dengan berbagai pakem tradisi dari etnis yang berbeda-beda. Sejak bergabungnya, ia telah memberi tambahan warna yang unik pada musik Discus.
Important dates
A. JakJazz 1997 dan 1999
B. PROGDay 2000 North Caroline USA
C. ProgNight San Fransisco USA 2000
D. Knitting Factory New York 2000
E. BAJAProg Mexico 2001
F. Indonesia PROGFest 2001
G. AMI Award Samsung 2004 achievement, untuk katagori :
§ Best Progressive Rock album dan Best Song untuk Progressive Rock
H. Charity for ACEH and SUMUT; Hard Rock Café,Jakarta - January 2005.
I. FreakShow (Wurzburg,Germany)
J. PROGSOL 2005 (Pratteln, Switzerland)
K. JAKARTA WORLD MUSIC FESTIVAL Des 2005, with I G Kompiang Raka, Gamelan Saraswati, Krisna Suckerhead, Fadly Padi & Andien.
L. JAVAJAZZ March 4 & 5 2006 –Jakarta Convention Centre; featuring Fadly of PADI & ANDIEN
M. Surabaya Full Musik Kontemporer 2006 – Balai Kesenian Surabaya; Juni 2006
DISCUS, The Albums
3rd Album;
KONSEP MUSIK (OUR CULTURAL STATEMENT)
Dalam album Discus mendatang, seperti biasanya, Discus berbicara mengenai kemanusiaan. Discus membawa konsep musiknya yang tidak mengenal batas (yang mencerminkan pluralisme) ke langkan berikutnya (to the next step).
Selama ini Discus sarat dengan elemen-elemen jazz, rock, metal, klasik, kontemporer avant garde, pop, etnik Indonesia (Bali, Jawa, Sunda, Makassar, Aceh, Dayak). Selama perjalanan karir Discus, Discus telah kerap berkolaborasi dengan musisi lain dari berbagai style tersebut. Discus telah pernah berkolaborasi dengan I Gusti Kompiang Raka dan Gamelan Saraswati (gamelan Bali), musisi tradisional Betawi, vokalis pop rock Fadly Padi, growler metal Krisna Suckerhead dan Ombat Tengkorak, vokalis jazzy pop Andien, dan progressive rocker Andy Julias. Bahkan dalam sebuah komposisi yang belum beredar (tetapi kerap dimainkan live), Krisna Suckerhead, Andien dan I G Kompiang Raka tampil di lagu yang sama. Hal yang tampak mustahil (kemungkinan pembeli album Suckerhead membeli album Andien sangatlah kecil), tetapi bisa dilakukan dalam musik Discus.
Apabila tidak ada halangan, Discus berencana melanjutkan kolaborasi dengan berbagai musisi dari genre yang berbeda-beda (bahkan tampak bertolak belakang) ini dalam album ketiga Discus.
Discus melakukan hal ini karena filosofi musiknya, yaitu bahwa semua musik pada dasarnya sama. Musik adalah gelombang suara / bunyi yang di manage oleh musisi dan ditata sedikian rupa untuk menyentuh jiwa dan rasa manusia. Timbulnya berbagai genre yang berbeda-beda hanyalah konsekuensi dari evolusi masing-masing genre tersebut sebagai produk sosio budaya dari bagian masyarakat dunia yang berbeda-beda.
Sebagaimana trend globalisasi dan pluralisme abad ke 21, demikian Discus merasa bahwa pengkotak-kotakan musik tidaklah perlu, dan hanyalah sesuatu yang berguna untuk lepraktisan pemasaran produk industri musik, atau memudahkan konsumen mencari CD tertentu di sebuah toko CD. Oleh karena itu Discus merasa bebas menggunakan elemen musik dari genre apapun untuk mengekspresikan diri.
Sebutlah bahwa dengan melakukan kombinasi berbagai genre dengan perbedaan yang “ekstrim” (mislanya swing dan latin jazz dengan gamelan dengan thrash metal dengan klasik tradisional dengan klasik kontemporer), Discus sedang membuat CULTURAL STATEMENT bahwa semua manusia di belahan bumi manapun dan dari kelas sosial manapun adalah sama. Implikasi dari hal ini adalah toleransi terhadap sesama umat manusia tanpa membeda-bedakan golongan, ras, maupun agama.
Dan yang terpenting, Discus merasa having fun dalam melakukan hal ini, menikmati proses eksperimentasi mencipta musik yang inklusif terhadap berbagai elemen kedalam ciri khas musik Discus sendiri.
WARNA MUSIK ALBUM KETIGA
Sejak berdirinya, Discus telah merilis dua buah album yang sekalipun terdiri dari elemen-elemen musikal yang sama, outcomenya sangat berbeda. Kedua album tersebut mengandung semua elemen musik seperti diatas. Namun Album “1st” yang dominan warna jazz dipersepsikan oleh publik (terutama di tanah air) sebagai album jazz dan banyak dibeli oleh komunitas jazz, sementara album “…tot licht!” yang dominan elemen metal, etnik, dan avant garde dipersepsikan sebagai album progressive rock yang keras dan cenderung avant garde (padahal kalau disimak, tidak kurang mengandung kadar mainstream / swing jazz daripada album “1st”). Perbedaan kedua album tersebut terjadi bukan karena kesengajaan, melainkan hanya karena perbedaan mood saat menggarapnya.
Belakangan diketahui, fans Discus terpecah antara kedua album tersebut dan kerap berasal dari komunitas yang berbeda. Sebagian penggemar “1st” kecewa dengan album “…tot licht!”, namun sebagian penggemar “…tot licht!” menganggap album ini jauh lebih baik dari “1st”.
Sekalipun kekecewaan memang tidak terlepas dari selera, hal ini dapat diartikan bahwa konsep “pluralisme musik” Discus belumlah tertangkap dengan baik oleh para penggemar. Atau sebaliknya, dapat dianggap bahwa Discus belum berhasil mengartikulasikan filosofi musik Discus yang sebenarnya kepada publik.
Dalam album Discus mendatang, secara umum dapat dikatakan bahwa kesan utama atau “jiwa” dari album ini akan berada kurang lebih ditengah-tengah album pertama dan kedua. Tentunya dengan ditambah beberapa elemen baru…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar